Sabtu, 9 Maret 2013 Komunitas
Pecinta Sastra memberikan tontonan berbeda bagi masyarakat Kota Singkawang.
Taman Burung, menjadi tempat pertemuan Sastrawan Pontianak dan Singkawang. Tak
perlu sesuatu yang terlihat mewah untuk menyampaikan pesan seni kepada
masyarakat. Pertunjukan seni yang dilakukan hanya berlatar belakang benner
berukuran 2 x 2 meter serta properti pertunjukan Monolog “Obat Lupa” karya
Ilham Setiawan yang menampilkan sketsa wajah tokoh-tokoh penting di negeri
tercinta Indonesia.
Pukul 20:00 WIB, Nano L.
Basuki, Ilham Setiawan, Jimmy S. Mudya, serta Pradono tiba di parkiran Taman
Burung Kota Singkawang. Di sana, kami sudah ditunggu oleh pemuda berambut gimbal
yang siap mengarahkan kami untuk memilih lokasi strategis pertunjukan sederhana
ini. Selang beberapa menit, rekan sastrawan Kota Singkawang bermunculan sebab
sejak satu hari sebelum kegiatan ini dilaksanakan, undangan via SMS, Facebook,
Telp, telah dilakukan dengan harapan yang sama yaitu mengapresiasi perkembangan
sastra di negeri tercinta, Indonesia.
Benner tersimpul pada tali
rapiah hijau. Dibentangkan pada tiang lalu sketsa-sketsa wajah para tokoh yang
serepak membuat pengunjung Taman Burung (TB) berhenti dan bertanya-tanya. Menurut
rekan-rekan sastra Kota Singkawan peristiwa seperti ini belum pernah terjadi di
Taman Burung.
Langit tak berbintang, bulanpun
entah ke mana, suara mesin genset dari parapedagang es krim, pentol, dll
menyatu dengan rasa penasaran. Rekan-rekan seniman Kota Singkawang berbaur
dengan pengunjung dan tampak sangat ingin segera memulai pertunjukan seni yang
menurut mereka “membangkitkan kenangan emas ketika masih muda.”
Nano L. Basuki dengan mic yang
terhubung pada sound yang sederhana menyapa pengunjung dan seniman Kota
Singkawang. Tepuk tangan mewarnai rasa penasaran. Acara dimulai dengan
pembacaan puisi “Di Balik Tahayul Pembangunan” karya Jimmy S. Mudya.
Oleh
Jimmy S. Mudya
Aku
membaca tiga puluh delapan ribu hektar lahan telah menjadi pohon uang
Aku
membaca kesejahteraan masyarakat borneo semakin luar biasa
Aku
membaca prasarana untuk masyarakat menjadi tawaran yang menggiurkan
Aku
membaca dua ratus dua puluh dua investor mengantre dengan segala iming-iming
Aku
membacanya di halaman pertama ketika rinduku pada kicau burung pipit
menggebu-gebu
Burung-burung
telah hijrah
Babi-babi
telah musnah dianggap hama
Orang
utan dikepung lalu kelaparan
Burung
enggang merana mencari pasangan
Rumah
adat menjadi latah
Rumah
betang tinggal tiang belian yang juga digorok
Generasi
kehilangan sejarah karna tak lagi menyapa embun budaya
Aku bukan
anti pembangunan
Pembangunan
adalah wajah kemajuan yang layak dikenyam
Pembangunan
bukanlah robot pembunuh yang meratakan generasi satwa
Pembangunan
bukanlah mesin penghancur tradisi berladang
Bukan
menyulap sawah yang menjadikan kepentingan yang terhormat untuk membeli sepatu
berlian
Pembangunan
bukanlah raja yang seenaknya melunturkan
adat dan tradisi masyarakat
Aku
menoleh bayangan
Betapa
adat menjadi jeruji pelanggaran moral di masa silam
Ketika
irama musik sape’ dan gong meliukkan jemari bujang dan dara
Ah...
Budaya
kota
Menyusup
dari tahayul pembangunan
Yang
mengirim musik pengiring para
penari-penari telanjang
Apa
artinya pembangunan?
Bila adat
tersisih dari kepatutannya
Bukankah
hukum adat adalah dasar bagi hukum negara?
Apa
artinya pembangunan?
Bila
akhirnya merusak tatanan agama?
Apa
artinya pembangunan?
Bila
menghalalkan segala cara untuk mengembungkan perut pengusaha?
Aku
bersujud mengucap duka cita
Tinta-tinta
ini akan menjadi catatan sejarah yang mungkin jadi isapan jempol hari ini
Siang
hari telah menjadi bara
Petang
telah membaur bersama angin laut
Pagi
telah menjadi keringat
Selamat
tinggal sejarah tanah kelahiranku
Pontianak,
11 Januari 2013.
Lampu duduk mini menjadi set
lampu panggung dan penerang pembacaan puisi. Teriakan-teriakan itu membuat
anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua mengarahkan pandangan ke lokasi
pertunjukan. Bahkan, terdengan suara klakson motor di jalan raya akibat rasa
penasaran pengendara yang memarkir kendaraan ke badan jalan.
Sulutan
suasana ini membuat pengunjung semakin merapat, sebuah puisi pun siap
dilantunkan oleh seorang seniman berkaca mata sedikit merosot dan berambut
putih ini. Beliau adalah seniman Kota Singkawang yang bernama Iwan Darmawan
dengan puisi berjudul “Mencari Mata Air”, beliau mengekspresikan puisi dengan
sangat lepas. Sesekali ia mengangkat tangan lalu mencakar dada meluapkan isi
puisi yang mengarahkan kita untuk berpikir “Kemana arah hidup yang
sesungguhnya.”
Aan Rosadi, begitu nama seorang
sastrawan Kota Singkawang yang siap dengan selembar kertas rasa. Bait-bait
peluru telah di tangan, lontaran kata mucul dalam tajuk “Kepada Tukang Batu.”
Rasa cinta terhadap puisi segera membangkitkan Gunta Wirawan (Sastrawan Kota
Singkawang) dengan puisi berjudul “Sajak Nol”, beliau memberi warna yang
berbeda dalam pembacaan puisi yang tampak nyeleneh.
Sebuah permainan diksi dan ekspresi
yang membuat penonton terperangah dan terus menganalisa makna puisi tersebut.
Nano L. Basuki yang juga berlaku sebagai MC acara memberikan kesempatan kepada
Abdul Rani , sebuah puisi yang berladas pada kerinduannya kepada ayahnya yang
berjudul “Bangsal”, puisi yang menceritakan seorang ayah yang berprofesi
sebagai pandai besi.
Denting gitarpun dipetik Jimmy
S. Mudya dengan lantunan lagu berjudul “Obat Lupa” sebagai pengantar monologer
Ilham Setiawan untuk tampil. Suara Ilham Setiwan merobohkan riuh suasana Taman
Burung, Kota Singkawang. Layaknya pedagang obat, Ilham Setiwan dengan kemeja
putih, topi koboy, kofer antik, dan botol obat, serempak disambut dengan tepuk
tangan. Seniman penjual “Obat Lupa” mulai beraksi dengan pengantar yaitu berupa
sulap mini melepaskan cincin dari ikatan tali rapiah hijau lalu lawakan “Cara
memakan Ice Kream”
Monologer Ilham Setiwan beraksi
dengan menunjukan sketsa wajah pasien-pasiennya. Sketsa yang tampak antara
lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Abdulrahman Wahid (Gusdur),
Munir (Aktivis HAM), Luna Maya, Ariel (Noah), H. Rhoma Irama, Cut Tari, Atasari
Ashar, Gayus Tambunan, Soekarno, Soeharto, dll. Sang Monologer membawa
parapenonton untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia
yang “terlupakan.” Pentas Monolog diakhiri dengan sebuah musik puisi yang
berjudul “Media Lara” Karya Nano L. Basuki.
Sebagai penutup pertunjukan,
Nano L. Basuki membacakan sebuah persembahan berbentuk apresiasi akan acara
silaturohim sastra lalu dilanjutkan dengan sebuah musik puisi yang tercipta di
pantai Kura-kura Singkawang yang berjudul “Elegi Kura-kura” karya Jimmy S.
Mudya.
ELEGI KURA-KURA
Oleh Jimmy S. Mudya
Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan
Bakau-bakau tumbang mengambang
Ikan dan udang entah ke mana
Kura-kura tinggalkan nama
Erosi kian mengancam
Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan
Orang tua bercerita pada anaknya
tentang dongeng di pinggir pantai
Orang tua bercerita pada anaknya
perjuangan hanya ludah bagi mereka yang diperbudak rupiah
Musik puisi yang menunjukan kesedihan akan rusaknya laut lalu pengerukan pasir yang lambat laun akan membuat sebuah bencana atau menghilangkan keasrian ciptaan Tuhan.
ELEGI KURA-KURA
Oleh Jimmy S. Mudya
Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan
Bakau-bakau tumbang mengambang
Ikan dan udang entah ke mana
Kura-kura tinggalkan nama
Erosi kian mengancam
Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan
Orang tua bercerita pada anaknya
tentang dongeng di pinggir pantai
Orang tua bercerita pada anaknya
perjuangan hanya ludah bagi mereka yang diperbudak rupiah
Pantai Kura-kura 9 Maret 2013
(Bersama Pradono dan pak Nasir)
Musik puisi yang menunjukan kesedihan akan rusaknya laut lalu pengerukan pasir yang lambat laun akan membuat sebuah bencana atau menghilangkan keasrian ciptaan Tuhan.
Usai pentas dan pembacaan
puisi, paraseniman duduk melingkar dipandu oleh moderator diskusi Pradono
Singkwang yang membuka diskusi dengan dua puisi kenangan masa kecil yang tak
pernah terlupakan.
Ilham Setiwan serta Jimmy S. Mudya memberikan ucapan terima kasih kepada seniman Kota Singkawang dan meminta petunjuk berupa nasehat kepada kalangan pecinta sastra muda untuk berkarya lebih baik. Pernyataan itu langsung disambut oleh Iwan Darmawan, “Kami seniman Kota Singwang mengucapkan terima kasih atas warna baru yang digaungkan oleh rekan-rekan pecinta seni/ sastra dari Pontianak. Saya sangat terkesan dengan monolog “Obat Lupa” yang disampaikan oleh saudara Ilham Setiwan yang telah mengetuk dan mengembalikan jati diri saya bahwa INILAH TEMPAT SAYA!.”
SUNGAI
SINGKAWANG
menyusuri sigar
dari gertak rusen hingga gertak agen
hanya tersaksikan air permukaan
berubah rupa jadi tanah daratan
bertumbuh rumput dan ilalang
di rusuk dan perut sungai singkawang
entah kapan lagi
biak biak singkawang
nikmati masa kecil merenangi
sungai singkawang
mendarat tanpa gatal
korengan
para tetamu habiskan
hari menatap bersih
dan sejuk mata di
sepinggir sungai singkawang
entah kapan lagi kubisa
amati lundu dan ikan kebali
berenang bebas sembari elakkan mata kail
pemancing yang bertengger di motor ikan
pangkalan sutianso
entah kapan kita
kembalikan sungai singkawang
jadi kebanggaan tanpa
celaan
dan wabah korengan
singkawang, 2011
ASAM
JAWA GERTAK AGEN
hilang sebagian
sejarah
masa kecilku
ketika tersaksikan
sebatang pohon asam jawa
di pojok gertak
agen ditebang zaman reformasi
-entah apa motivasinya-
demi keindahan kotakah
agar tak menyemaki mata
agar daunnya tak mengotori jalan
agar tak mengganggu lalu lintas
-sedang angsana di sisi lainnya
masih tegak berdiri-
-sedang sungai singkawang
masih saja hitam pekat menjijikkan-
hilang sejarah masa kecilku
-ketika sepulang sekolah dasar;
dulu
berbekal sebungkus kertas
garam dan cabe rawit
dengan nikmat kukunyahmamah
asam-asam muda
bertengger di pohon asam
gertak agen-
hilang sejarah masa kecilku
-khawatir bertambah
apakah juga akan hilang sejarah
generasi di bawahku
mereka takkan bisa lagi menyaksikan
gertak agen, kantor telegraf,
mess daerah
dan bangunan bangunan tua
karya belanda –meski penjajah-
tapi mengabadikan khazanah
bagi negeri jajahannya
hilang sejarah masa kecilku
-di kota kelahiran, singkawang-
lantaran hati hati jahil
tak punya visi
atas nama pembangunan
dan isi kantong pribadi
memberangus khazanah karya penjajah
pada akhirnya mereka sendiri
bakal menyandang predikat;
penjajah di tanah sendiri
hilang sejarah masa kecilku
bermula dari hilangnya
pohon asam jawa gertak agen
entah apalagi yang kan tumbang
dan hilang
di atas jejak tunggul asam jawa, skw 2011
Ilham Setiwan serta Jimmy S. Mudya memberikan ucapan terima kasih kepada seniman Kota Singkawang dan meminta petunjuk berupa nasehat kepada kalangan pecinta sastra muda untuk berkarya lebih baik. Pernyataan itu langsung disambut oleh Iwan Darmawan, “Kami seniman Kota Singwang mengucapkan terima kasih atas warna baru yang digaungkan oleh rekan-rekan pecinta seni/ sastra dari Pontianak. Saya sangat terkesan dengan monolog “Obat Lupa” yang disampaikan oleh saudara Ilham Setiwan yang telah mengetuk dan mengembalikan jati diri saya bahwa INILAH TEMPAT SAYA!.”
Aan Rosadi menambahkan,
kegiatan seperti ini bukanlah kegiatan yang sulit sebetulnya. Tapi, kita
terlalu memikirkan resiko padahal semua yang kita kerjakan tak terlepas dari
sebuah resiko. Mulai hari ini, sastrawan Singkawang akan wajib merapatkan
barisan. Kita harus mempertahankan percikan sastra ini kedepannya dengan
mengadakan kegiatan sederhana seperti ini di tempat yang sama setiap minggu.
Lalu, mengagendakan kegiatan sebulan sekali dan siap mengundang rekan-rekan
sastra dari Singkawang. Intinya, kami mohon dukungan. Jelas Aan Rosadi dan
Gunta Wirawan.
Kegiatan seperti ini merupakan
agenda yang dilakukan oleh komunitas Mata Borneo, yaitu mengunjungi
sekolah-sekolah untuk mengadakan pelatihan penulisan puisi, cerpen, pengenalan
teater, musikalisasi puisi, dsb. Beberapa sekolah yang sudah kami kunjungi
yaitu SMA 1 Ambawang, SMP Suster, Muhamadyah Pontianak. Untuk kunjungan daerah
kota, kami menjual obat perdana di Kota Singkawang ini. Tutur Nano L. Basuki.
Malam semakin larut, tapi
semangat sastra terus berkobar. Ice Cream telah habis ditelan, saling
bersalaman pertanda kegiatan 9 Maret 2013 akan diakhiri. Aan Rosadi mengucapkan
terima kasih dengan sedikit bumbu hangat
“Yuk! Setelah ini kita kumpul
di rumah makan padang “Sederhana” di dekat gerbang kota Singkawang.”
Oleh Jimmy S. Mudya
(Bagi rekan-rekan yang memiliki foto-foto kegiatan dan data puisi yang dibacakan. Mohon Inbox ke Facebook saya. Jimmy S. Mudya. Atau email ke jimmysmudya@yahoo.com
Terima kasih dan salam jabat erat)
Terima kasih dan salam jabat erat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar