Minggu, 10 Maret 2013

#Silaturahim Sastrawan di Taman Burung, Kota Singkawang#


Sabtu, 9 Maret 2013 Komunitas Pecinta Sastra memberikan tontonan berbeda bagi masyarakat Kota Singkawang. Taman Burung, menjadi tempat pertemuan Sastrawan Pontianak dan Singkawang. Tak perlu sesuatu yang terlihat mewah untuk menyampaikan pesan seni kepada masyarakat. Pertunjukan seni yang dilakukan hanya berlatar belakang benner berukuran 2 x 2 meter serta properti pertunjukan Monolog “Obat Lupa” karya Ilham Setiawan yang menampilkan sketsa wajah tokoh-tokoh penting di negeri tercinta Indonesia.
Pukul 20:00 WIB, Nano L. Basuki, Ilham Setiawan, Jimmy S. Mudya, serta Pradono tiba di parkiran Taman Burung Kota Singkawang. Di sana, kami sudah ditunggu oleh pemuda berambut gimbal yang siap mengarahkan kami untuk memilih lokasi strategis pertunjukan sederhana ini. Selang beberapa menit, rekan sastrawan Kota Singkawang bermunculan sebab sejak satu hari sebelum kegiatan ini dilaksanakan, undangan via SMS, Facebook, Telp, telah dilakukan dengan harapan yang sama yaitu mengapresiasi perkembangan sastra di negeri tercinta, Indonesia.
Benner tersimpul pada tali rapiah hijau. Dibentangkan pada tiang lalu sketsa-sketsa wajah para tokoh yang serepak membuat pengunjung Taman Burung (TB) berhenti dan bertanya-tanya. Menurut rekan-rekan sastra Kota Singkawan peristiwa seperti ini belum pernah terjadi di Taman Burung.
Langit tak berbintang, bulanpun entah ke mana, suara mesin genset dari parapedagang es krim, pentol, dll menyatu dengan rasa penasaran. Rekan-rekan seniman Kota Singkawang berbaur dengan pengunjung dan tampak sangat ingin segera memulai pertunjukan seni yang menurut mereka “membangkitkan kenangan emas ketika masih muda.”
Nano L. Basuki dengan mic yang terhubung pada sound yang sederhana menyapa pengunjung dan seniman Kota Singkawang. Tepuk tangan mewarnai rasa penasaran. Acara dimulai dengan pembacaan puisi “Di Balik Tahayul Pembangunan” karya Jimmy S. Mudya.


DI BALIK TAHAYUL PEMBANGUNAN
Oleh Jimmy S. Mudya

Aku membaca tiga puluh delapan ribu hektar lahan telah menjadi pohon uang
Aku membaca kesejahteraan masyarakat borneo semakin luar biasa
Aku membaca prasarana untuk masyarakat menjadi tawaran yang menggiurkan
Aku membaca dua ratus dua puluh dua investor mengantre dengan segala iming-iming
Aku membacanya di halaman pertama ketika rinduku pada kicau burung pipit menggebu-gebu
Burung-burung telah hijrah
Babi-babi telah musnah dianggap hama
Orang utan dikepung lalu kelaparan
Burung enggang merana mencari pasangan
Rumah adat menjadi latah
Rumah betang tinggal tiang belian yang juga digorok
Generasi kehilangan sejarah karna tak lagi menyapa embun budaya

Aku bukan anti pembangunan
Pembangunan adalah wajah kemajuan yang layak dikenyam
Pembangunan bukanlah robot pembunuh yang meratakan generasi satwa
Pembangunan bukanlah mesin penghancur tradisi berladang
Bukan menyulap sawah yang menjadikan kepentingan yang terhormat untuk membeli sepatu berlian
Pembangunan bukanlah raja yang  seenaknya melunturkan adat dan tradisi masyarakat

Aku menoleh bayangan
Betapa adat menjadi jeruji pelanggaran moral di masa silam
Ketika irama musik sape’ dan gong meliukkan jemari bujang dan dara
Ah...
Budaya kota
Menyusup dari tahayul pembangunan
Yang mengirim musik pengiring para  penari-penari telanjang

Apa artinya pembangunan?
Bila adat tersisih dari kepatutannya
Bukankah hukum adat adalah dasar bagi hukum negara?
Apa artinya pembangunan?
Bila akhirnya merusak tatanan agama?
Apa artinya pembangunan?
Bila menghalalkan segala cara untuk mengembungkan perut pengusaha?

Aku bersujud mengucap duka cita
Tinta-tinta ini akan menjadi catatan sejarah yang mungkin jadi isapan jempol hari ini
Siang hari telah menjadi bara
Petang telah membaur bersama angin laut
Pagi telah menjadi keringat
Selamat tinggal sejarah tanah kelahiranku

Pontianak, 11 Januari 2013.

Lampu duduk mini menjadi set lampu panggung dan penerang pembacaan puisi. Teriakan-teriakan itu membuat anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua mengarahkan pandangan ke lokasi pertunjukan. Bahkan, terdengan suara klakson motor di jalan raya akibat rasa penasaran pengendara yang memarkir kendaraan ke badan jalan.

          Sulutan suasana ini membuat pengunjung semakin merapat, sebuah puisi pun siap dilantunkan oleh seorang seniman berkaca mata sedikit merosot dan berambut putih ini. Beliau adalah seniman Kota Singkawang yang bernama Iwan Darmawan dengan puisi berjudul “Mencari Mata Air”, beliau mengekspresikan puisi dengan sangat lepas. Sesekali ia mengangkat tangan lalu mencakar dada meluapkan isi puisi yang mengarahkan kita untuk berpikir “Kemana arah hidup yang sesungguhnya.”
Aan Rosadi, begitu nama seorang sastrawan Kota Singkawang yang siap dengan selembar kertas rasa. Bait-bait peluru telah di tangan, lontaran kata mucul dalam tajuk “Kepada Tukang Batu.” Rasa cinta terhadap puisi segera membangkitkan Gunta Wirawan (Sastrawan Kota Singkawang) dengan puisi berjudul “Sajak Nol”, beliau memberi warna yang berbeda dalam pembacaan puisi yang tampak nyeleneh.  Sebuah permainan diksi dan ekspresi yang membuat penonton terperangah dan terus menganalisa makna puisi tersebut. Nano L. Basuki yang juga berlaku sebagai MC acara memberikan kesempatan kepada Abdul Rani , sebuah puisi yang berladas pada kerinduannya kepada ayahnya yang berjudul “Bangsal”, puisi yang menceritakan seorang ayah yang berprofesi sebagai pandai besi.
Denting gitarpun dipetik Jimmy S. Mudya dengan lantunan lagu berjudul “Obat Lupa” sebagai pengantar monologer Ilham Setiawan untuk tampil. Suara Ilham Setiwan merobohkan riuh suasana Taman Burung, Kota Singkawang. Layaknya pedagang obat, Ilham Setiwan dengan kemeja putih, topi koboy, kofer antik, dan botol obat, serempak disambut dengan tepuk tangan. Seniman penjual “Obat Lupa” mulai beraksi dengan pengantar yaitu berupa sulap mini melepaskan cincin dari ikatan tali rapiah hijau lalu lawakan “Cara memakan Ice Kream”
Monologer Ilham Setiwan beraksi dengan menunjukan sketsa wajah pasien-pasiennya. Sketsa yang tampak antara lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Abdulrahman Wahid (Gusdur), Munir (Aktivis HAM), Luna Maya, Ariel (Noah), H. Rhoma Irama, Cut Tari, Atasari Ashar, Gayus Tambunan, Soekarno, Soeharto, dll. Sang Monologer membawa parapenonton untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia yang “terlupakan.” Pentas Monolog diakhiri dengan sebuah musik puisi yang berjudul “Media Lara” Karya Nano L. Basuki.
Sebagai penutup pertunjukan, Nano L. Basuki membacakan sebuah persembahan berbentuk apresiasi akan acara silaturohim sastra lalu dilanjutkan dengan sebuah musik puisi yang tercipta di pantai Kura-kura Singkawang yang berjudul “Elegi Kura-kura” karya Jimmy S. Mudya. 

ELEGI KURA-KURA
Oleh Jimmy S. Mudya

Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan

Bakau-bakau tumbang mengambang
Ikan dan udang entah ke mana
Kura-kura tinggalkan nama
Erosi kian mengancam

Ombak menangis
di bibir pantai
Pasir terkikis
mengancam badan

Orang tua bercerita pada anaknya
tentang dongeng di pinggir pantai
Orang tua bercerita pada anaknya
perjuangan hanya ludah bagi mereka yang diperbudak rupiah


Pantai Kura-kura 9 Maret 2013
(Bersama Pradono dan pak Nasir)


Musik puisi yang menunjukan kesedihan akan rusaknya laut lalu pengerukan pasir yang lambat laun akan membuat sebuah bencana atau menghilangkan keasrian ciptaan Tuhan.
Usai pentas dan pembacaan puisi, paraseniman duduk melingkar dipandu oleh moderator diskusi Pradono Singkwang yang membuka diskusi dengan dua puisi kenangan masa kecil yang tak pernah terlupakan. 


SUNGAI SINGKAWANG


menyusuri sigar
dari gertak rusen hingga gertak agen
hanya tersaksikan air permukaan
berubah rupa jadi tanah daratan
bertumbuh rumput dan ilalang
di rusuk dan perut sungai singkawang

entah kapan lagi
biak biak singkawang
nikmati masa kecil merenangi sungai singkawang
mendarat tanpa gatal korengan
para tetamu habiskan hari menatap bersih
dan sejuk mata di sepinggir sungai singkawang

entah kapan lagi kubisa amati lundu dan ikan kebali
berenang bebas sembari elakkan mata kail
pemancing yang bertengger di motor ikan
pangkalan sutianso

entah kapan kita kembalikan sungai singkawang
jadi kebanggaan tanpa celaan
dan wabah korengan

singkawang, 2011

ASAM JAWA GERTAK AGEN
hilang sebagian sejarah
masa kecilku
ketika tersaksikan sebatang pohon asam jawa
di pojok gertak agen ditebang zaman reformasi
-entah apa motivasinya-
demi keindahan kotakah
agar tak menyemaki mata
agar daunnya tak mengotori jalan
agar tak mengganggu lalu lintas
-sedang angsana di sisi lainnya
masih tegak berdiri-
-sedang sungai singkawang
masih saja hitam pekat menjijikkan-

hilang sejarah masa kecilku
-ketika sepulang sekolah dasar; dulu
berbekal sebungkus kertas
garam dan cabe rawit
dengan nikmat kukunyahmamah
asam-asam muda
bertengger di pohon asam
gertak agen-

hilang sejarah masa kecilku
-khawatir bertambah
apakah juga akan hilang sejarah
generasi di bawahku
mereka takkan bisa lagi menyaksikan
gertak agen, kantor telegraf, mess daerah
dan bangunan bangunan tua
karya belanda meski penjajah-
tapi mengabadikan khazanah
bagi negeri jajahannya

hilang sejarah masa kecilku
-di kota kelahiran, singkawang-
lantaran hati hati jahil tak punya visi
atas nama pembangunan
dan isi kantong pribadi
memberangus khazanah karya penjajah
pada akhirnya mereka sendiri
bakal menyandang predikat;
penjajah di tanah sendiri

hilang sejarah masa kecilku
bermula dari hilangnya
pohon asam jawa gertak agen
entah apalagi  yang kan tumbang
dan hilang

di atas jejak tunggul asam jawa, skw 2011


Ilham Setiwan serta Jimmy S. Mudya memberikan ucapan terima kasih kepada seniman Kota Singkawang dan meminta petunjuk berupa nasehat kepada kalangan pecinta sastra muda untuk berkarya lebih baik. Pernyataan itu langsung disambut oleh Iwan Darmawan, “Kami seniman Kota Singwang mengucapkan terima kasih atas warna baru yang digaungkan oleh rekan-rekan pecinta seni/ sastra dari Pontianak. Saya sangat terkesan dengan monolog “Obat Lupa” yang disampaikan oleh saudara Ilham Setiwan yang telah mengetuk dan mengembalikan jati diri saya bahwa INILAH TEMPAT SAYA!.”
Aan Rosadi menambahkan, kegiatan seperti ini bukanlah kegiatan yang sulit sebetulnya. Tapi, kita terlalu memikirkan resiko padahal semua yang kita kerjakan tak terlepas dari sebuah resiko. Mulai hari ini, sastrawan Singkawang akan wajib merapatkan barisan. Kita harus mempertahankan percikan sastra ini kedepannya dengan mengadakan kegiatan sederhana seperti ini di tempat yang sama setiap minggu. Lalu, mengagendakan kegiatan sebulan sekali dan siap mengundang rekan-rekan sastra dari Singkawang. Intinya, kami mohon dukungan. Jelas Aan Rosadi dan Gunta Wirawan.
Kegiatan seperti ini merupakan agenda yang dilakukan oleh komunitas Mata Borneo, yaitu mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengadakan pelatihan penulisan puisi, cerpen, pengenalan teater, musikalisasi puisi, dsb. Beberapa sekolah yang sudah kami kunjungi yaitu SMA 1 Ambawang, SMP Suster, Muhamadyah Pontianak. Untuk kunjungan daerah kota, kami menjual obat perdana di Kota Singkawang ini. Tutur Nano L. Basuki.
Malam semakin larut, tapi semangat sastra terus berkobar. Ice Cream telah habis ditelan, saling bersalaman pertanda kegiatan 9 Maret 2013 akan diakhiri. Aan Rosadi mengucapkan terima kasih dengan sedikit bumbu hangat
“Yuk! Setelah ini kita kumpul di rumah makan padang “Sederhana” di dekat gerbang kota Singkawang.”

Oleh Jimmy S. Mudya


(Bagi rekan-rekan yang memiliki foto-foto kegiatan dan data puisi yang dibacakan. Mohon Inbox ke Facebook saya. Jimmy S. Mudya. Atau email ke jimmysmudya@yahoo.com 
Terima kasih dan salam jabat erat)